Jakarta (11/11/08) | Harta wakaf merupakan pemberian wakif untuk dipergunakan sebagaimana mestinya demi kepentingan umat. Agar pengelolaannya bisa berkembang dengan baik, maka dibutuhkan nazhir yang amanah dan profesional dalam mengembangkan harta tersebut. Inilah yang menjadi salah satu titik tekan BWI dan pemerintah dalam pengembangan wakaf ke arah produktif, yaitu pemberdayaan nazhir.
Sesuai dengan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU tersebut, nazhir memilik tugas untuk mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, dan melindungi harta benda wakaf.
Sayangnya, tugas itu tak banyak yang bisa menjalankannya dengan maksimal. Terutama terkait dengan pengelolaan dan pengembangan ke arah produktif. Jika ditelisik, tak kurang dari 77 persen aset wakaf masih terbilang diam, dan hanya 23 persen yang dinilai berkembang atau produktif.
Ini menunjukkan, kondisi nazhir wakaf di Indonesia masih jauh dari harapan. Menurut Sekretaris BWI, Sumuran Harapan, faktor penyebab mandegnya pengelolaan wakaf dengan baik, karena pemahaman dan pengetahuan nazhir sangat terbatas. “Karena itu, orang-orang yang diberi amanah untuk menjadi nazhir, hendaknya memiliki kemampuan dalam mengembangkan harta yang diwakafkan agar menjadi lebih produktif,” ujar sosok yang juga Direktur Direktorat Wakaf Depag RI ini.
Pada kesempatan berbeda, Kepala Divisi Pembinaan Nazhir BWI, Maghfur Usman, menegaskan, kendati nazhir tidak termasuk dalam salah satu rukun wakaf dalam fiqih, namun mengingat begitu pentingnya peranan pengelolaan wakaf, maka UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, menentukan posisi nazhir sebagai salah satu unsur wakaf yang dianggap fital.
Pasalnya kondisi nazhir ini berjalan lurus dengan kulitas aset wakaf. Jika nazhirnya lemah dan tidak profesional, otomatis aset wakaf yang dikelolanya pun tak akan produktif. Jadi, di sini diperlukan nazhir yang memiliki kemampuan untuk mengelola, mengembangkan harta wakaf, serta mampu mentasarufkan hasil harta wakaf secara adil.
Di era wakaf produktif ini, sudah saatnya para nazhir mengubah paradigma dalam pengelolaan aset wakaf: dari menunggu bola menjadi menjemput bola, dari meminta-minta menjadi menjalin mitra. Senada dengan hasil Workshop Nazhir Profesional yang digelar BWI belum lama ini, para nazhir merekomendasikan perlunya peningkatan kemampuan nazhir melalui berbagai pelatihan dan studi banding.
Kini juga terbuka lebar bagi para nazhir untuk bekerjasama dengan para pelaku ekonomi untuk penyediaan permodalan dan jaringan kerja untuk meningkatkan produktifitas aset wakaf. Dengan begitu, diharapkan tak ada lagi aset wakaf yang tidak produktif, apalagi terlantar dan tak jelas stratusnya.
Selain itu, BWI dan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama juga mengintensifkan Pelatihan Nazhir Profesional dan juga mensuntikkan bantuan untuk kepentingan pengembangan aset ke arah produktif. [sya/aum]